Sabtu, 29 Mei 2010

Bekerja adalah Ibadah

Hadirin yang berbahagia !
Pertama-tama, marilah kita memanjatkan puji dan syukur kita kepada Allah atas segala nikmat dan karunia-Nya yang tak henti-henti dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya serta seluruh umatnya di alam ini. Marilah kita sama-sama meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah sebab tidak ada bekal yang lebih baik bagi kita selain taqwa.
Dalam satu ayat al-Qur’an, disebutkan bahwa tujuan Allah menciptakan jin dan manusia ialah untuk beribadah. Hal ini cukup menarik untuk kita renungkan, karena ayat ini menginformasikan bahwa seluruh kehidupan yang kita lalui dari lahir sampai meninggal bagi Allah difungsikan hanya untuk ibadah. Ini berarti seluruh kehidupan kita semenjak bangun tidur, mandi, pergi ke kantor, naik angkutan umum, belanja di pasar, rapat RT, dan bahkan tidur atau bersenang-senang semuanya harus memiliki nilai ibadah.
Bagaimana kita dapat menjadikan seluruh aktivitas kehidupan kita sebagai ibadah? Semuanya ini tergantung pada niat dan keikhlasan.
Kadang-kadang ada diantara manusia yang dalam beramal atau beribadah, keliru dalam memasang niatnya. Mereka salah menentukan alamat, untuk siapa dan untuk apa sebenarnya ibadah yang dengan susah payah mereka kerjakan. Orang yang mengerjakan shalat misalnya, untuk mendapat keridhaan Allah, tidak supaya ibadahnya itu diterima oleh Allah dan kemudian mendapat pahala-Nya, tetapi untuk dilihat dan dipuji orang lain.
Di sini, mengalamatkan ibadahnya itu tidak kepada Allah, satu-satunya Dzat yang berhak menerima peribadatan, tetapi kepada alamat yang salah yang selain Allah. Tentu saja ibadah yang demikian tidak akan diterima oleh Allah swt, dan hanyalah merupakan kerja yang sia-sia belaka, sebab ibadah yang dikerjakan dengan niat yang salah, seumpama tanaman adalah tanaman yang rapuh sejak berupa benih dikuburkan di tanah. Atau seumpama musafir yang menempuh suatu perjalanan telah berbuat salah sejak langkah kakinya yang pertama. Dan orang yang melakukan ibadah semacam itu tidak akan memperoleh kecuali hanya apa yang memang sejak semula ia telah meniatkannya ketika melakukan ibadahnya itu.
Kalau sejak semula ia beribadah dengan niat supaya dipuji orang lain, ia juga hanya mendapatkan pujian orang lain. Ibadahnya sendiri tidak diterima oleh Allah dan tidak mendapat pahala sebagaimana mestinya.
Hadirin rahimakumullah !
Kita ingat, dalam hal ini sabda Rasulullah Saw. Dalam hadits shahih riwayat Bukhari Muslim yang artinya,
“Sesungguhnya semua amal itu tergantung kepada niatnya. Dan sesungguhnya tiap orang hanyalah memperoleh apa yang diniatkannya . Karena itu siapa ygn berhijrah dengan niat untuk Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu juga untuk Allah dan rasul-Nya. Dan siapa yang berhijrah dengan maksud untuk memperoleh keduniaan atau unuk mengawini seorang wanita, maka hijrah itu juga untuk apa yang ia inginkan itu.”
Sabda Rasulullah ini ada kaitannya dengan satu peristiwa yang terjadi tatkala kaum muslimin berhijrah ke Madinah, yaitu peristiwa Hijrah. Mengaitkan hadist niat dengan peristiwa Hijrah segera mengantarkan kita pada hubungan antara amal dan hijrah. Maksudnya secara bebas kita dapat menyatakan bahwa seluruh aktivitas kita merupakan kegiatan hijrah, bekerja adalah berhijrah; melakukan sesuatu adalah melakukan perubahan dari kondisi yang asal menuju kondisi yang hendak kita tuju.
Misalnya, bekerja di kantor atau di jalan raya merupakan hijrah juga, yaitu hijrah dari ketiadaan fungsi di tengah masyarakat menuju fungsi baru; atau hijrah dari kemalasan menuju aktivitas yang membebaskan. Terhadap aktivitas seperti ini, Rasulullah menyatakan bahwa niat yang baik akan mengantarkan kita pada tujuan yang baik, dan tujuan yang baik itu adalah karena Allah.
Menurut hadits Rasulullah ini, nilai amal ditentukan oleh niat. Bahkan sah tidaknya amal dan diterima tidaknya amal sholeh juga tergantung kepada niat. Kalau amal dikerjakan dengan dasar niat yang benar. Allah akan menerimanya, tetapi kalau dikerjakan dengan landasan tujuan yang keliru, Allah akan menolaknya. Dengan demikian tiap orang hanya akan memperoleh sesuatu sesuai dengan niatnya dan selanjutnya Allah memperlakukannya juga sesuai dengan apa yang menjadi niatnya.
Maka dengan hadits itu tahulah kita betapa penting peran niat dalam setiap amal yang kita kerjakan. Niat adalah titik awal dan dasar yang menentukan. Ia adalah norma pengukur. Kerja sebagai aktivitas ibadah, dengan demikian, dapat diwujudkan dengan berniat secara benar.
Sidang jumat yang berbahagia !
Niat letaknya di lubuk hati, bukan di mulut. Dan arti niat ialah bersengaja, yaitu bersengaja mengerjakan sesuatu perbuatan. Maka kalau kita berniat shalat, artinya kita bersengaja mengerjakan shalat. Perbuatan apa pun yang kita kerjakan dengan sengaja, berarti kita berniat mengerjakan perbuatan itu, dan sebaliknya pekerjaan apa pun yang kita lakukan dengan tidak sengaja berari kita tidak berniat melakukan pekerjaan itu.
Di sini kita melihat adanya kaitan yang erat antara niat dengan apa yang bernama ikhlas yang letaknya juga di lubuk hati. Ikhlas sendiri artinya ialah murni atau bersih, tanpa campuran. Ibarat emas. Maksudnya ialah bersihnya sesuatu pekerjaan dari campuran maksud-maksud yang selain Allah, seperti ingin dipuji orang, ingin mendapat nama dan lain sebagainya.
Maka suatu amal disebut ikhlas, kalau saja amal itu dilakukan murni karena Allah semata-mata, mengharap ridha-Nya dan pahala-Nya. Karena itu niat dan ikhlas adalah dua hal yang sangat erat hubungannya, bahkan tidak bisa dipisahkan satu dari yang lain. Dapat dikatakan dua hal itu tak ubahnya laksana bibit dan pohon. Bibit menghasilkan pepohonan, dan pepohonan juga menghasilkan biji-bijian yang kemudian menjadi bibit baru. Niat yang benar, yang keluar dari lubuk hati, akan mendorong munculnya keikhlasan; sebagaimana juga keikhlaksanlah yang menyebabkan lahirnya niat yang benar.
Melalui niat yang ikhlas ini kita akan mendapatkan berkah dari setiap pekerjaan. Dalam hal ini Rasulullah Saw. Bersabda yang artinya:
“Bertulus ikhlaslah kamu dalam melaksanakan agamamu, niscaya amalmu yang sedikit itu cukup untukmu.”
Niat dan keikhlasan adalah syarat utama bagi ibadah kita. Sekali lagi ditegaskan, bila kita hendak menjadikan seluruh aktivitas kehidupan kita sebagai aktivitas ibadah, maka kita harus terus-menerus memiliki niat yang baik dan keikhlasan yang terjaga.
Hadirin yang berbahagia !
Keikhlasan berarti hanya terfokus pada tujuan mulia dari setiap pekerjaan yang sedang kita lakukan. Sebagai seorang Muslim, tujuan mulia setiap pekerjaan kita adalah bahwa kita akan menjadi semakin memahami bagaimana menjalankan kehidupan dengan akhlak yang memberi kebahagiaan pada seluruh alam semesta ini. Namun, untuk menjadi ikhlas bukanlah pekerjaan yang mudah. Kita seringkali tergoda untuk memikirkan yang bukan tujuan dari pekerjaan, kita tergoda oleh apa yang disebut sebagai riya’.
Kita disebut riya’ bila amal yang dikerjakan tidak dengan niat yang ikhlas karena Allah semata-mata tetapi dengan tujuan untuk show atau pamer kepada orang lain. Tandanya kalau orang beramal untuknya, biasanya ia suka menyebut-nyebut amalnya itu kepada orang lain, atau suka memperlihatkan kepada orang lain. Riya’ adalah penyakit rohani yang oleh Rasulullah saw, digolongkan sebagai syirik asghar atau syirik kecil, yaitu perbuatan yang mempersekutukan Allah dengan tidak terang-terangan. Karena itu orang yang beramal dengan riya’ ia berdosa. Dan selain itu amalnya tidak akan diterima oleh Allah.
Rasulullah Saw menerangkan :
“Siapa yang shalat dengan riya’, sesungguhnya ia telah melakukan syirik. Siapa yang berpuasa dengan riya’, sesunggguhnya ia telah melakukan syirik. Dan begitu juga siapa yang bersedekah dengan riya’, sesungguhnya ia telah melakukan syirik. Sesungguhnya Allah azza wa jalla berfirman : aku adalah penemu yang terbaik bagi siapa saja yang telah mempersekutukan-Ku dengan sesuatu. Sesungguhnya amal orang itu yang sedikit maupun yang banyak untuk yang menjadi sekutunya, sedang Aku sama sekali tidak perlu kepada amal-amal itu.”
Dalam hadist yang lain beliau menerangkan,
“Sesungguhnya sesuatu yang sangat kutakutkan kepadamu ialah kalau-kalau kamu melakukan syirik kecil.” Para sahabat bertanya: apa syirik kecil itu, ya rasulullah? Beliau menjawab : “syirik kecil ialah riya. Pada hari kiamat nanti apabila seseorang meminta balasan (pahala) dari amal yang telah dikerjakannya, maka Allah berfirman kepadanya: pergilah kamu menghadap orang-orang kepada siapa kamu mengarahkan amal riya’ di dunia itu. Nanti akan kamu persaksikan sendiri, apakah kamu mendapatkan sesuatu balasan dari sisi mereka.” (Riwayat Ahmad).
Hadirin yang berbahagia !
Menegaskan keikhlasan dan niat yang baik pada setiap pekerjaan kita amatlah susah. Riya siap menghadang kita, menjebak kita dan membuat seluruh pekerjaan kita tidak menumbuhkan kesadaran baru sebagai hamba Allah. Namun bukan berarti kita tidak bisa melakukannya, justru sebaliknya kita harus terus menerus berusaha mewujudkan keikhlasan ini dengan sepenuh hati. Karena hanya dengan cara ini sajalah kita dapat menjadikan seluruh pekerjaan kita sebagai ibadah.
Kesusahan ini barangkali berasal dari tabiat kita yang memang belum sempurna. Al-Ghazali menyatakan bahwa tabiat seseorang dalam beribadah, memang berbeda-beda, ada yang bertabiat sebagai hamba sahaya, saudagar atau sebagai manusia merdeka.
Pertama, yang disebut amal hamba sahaya, yaitu amal ikhlas yang dikerjakan karena takut kepada perintah Allah. Kedua, yang disebut amal saudagar, yaitu amal ikhlas yang dikerjakan karena mengharapkan pahala karena ingin masuk surga. Dan ketiga, yang disebut amal manusia merdeka, yaitu amal ikhlas yang dikerjakan tidak karena takut kepada Allah atau mengharap pahala, tetapi karana adanya kesadaran bahwa beramal atau beribadah adalah kewajiban manusia kepada Tuhannya.
Mudah-mudahan Allah swt, memberikan kemampuan kepada kita semua untuk melaksanakan ajaran ini, mudah-mudahan Taufiq dan hidayah-Nya senantiasa dilimpahkan kepada kita semua. Amin.

*dari Buku Panduan Pelatihan Khitabah jurusan Komunikasi dan Dakwah UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Selasa, 25 Mei 2010

Dakwah yang Ideal untuk Masyarakat Mistik

Kondisi masyarakat Indonesia saat ini masih terkungkung pada kemistikan. Mereka masih percaya akan hal-hal gaib yang sulit dicerna oleh logika manusia. Masih banyak ritual-ritual mistik yang mereka laksanakan, yang sebenarnya tidak ada dalam ajaran Islam. Menyikapi hal ini tentu tidak mudah, karena hal ini telah mendarah daging dalam adat masyarakat. Namun, sebagai dai yang cerdas tentu kita harus bisa mengatasi hal-hal seperti ini.
Seperti yang telah dipaparkan oleh Dadang A. Fajar, salah satu dosen fakultas dakwah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung saat diwawancarai Kamis siang (10/12). Beliau mengatakan bahwa masyarakat yang seperti itu harus diberi pengertian akan hal mistik tersebut. “Katakan pada mereka bahwa mistik itu ada. Boleh kita percaya terhadap hal yang bersifat mistik tersebut. Tapi, jangan terlalu berlebihan. Jangan melebihi cinta dan ketaqwaan kita pada Allah, Tuhan kita.”
“Sebenarnya, Tuhan juga termasuk mistik. Malaikat dan jin juga mistik. Kita, manusia tidak mungkin hidup tanpa mistik, karena mistik itu bersifat non-materi. Mistik sendiri hanya berupa media untuk dakwah.”ujarnya melengkapi keterangan di atas